Jakarta 2009
Di sebuah rumah petak gang sempit, Fanny
baru saja merayakan kelulusan bersama teman-teman. Kini ia sedang
mengutarakan niatnya untuk kuliah kepada ibunya yang seorang janda.
Masih dengan baju seragam putih - abu abu, tak ada noda di sana seperti
yang dilakukan teman-temannya. Tak ada aksi coret mencoret seragam
karena baginya seragam ini masih bisa digunakan.
“Kerja saja..!
Bantu ibu…! Jadilah anak berbakti. Kamu sudah ibu sekolahkan sampai saat
ini. Dengan hasil jerih payah ibumu. Hutang ibupun belum lunas demi
menyekolahkan kamu, demi untuk menyambung hidup kita”.
“Kerja apa bu, lulus SMA? Aku tak punya kemampuan apapun”.
“Bisa…! Jual diri saja, nak..!”
Adakah seorang ibu yang demikian
kejam? Memerintahkan anaknya untuk menjual diri? Jangan pikir tak ada.
Demi melunasi hutang, ibuku menjualku kepada oom Suryo, seorang rentenir
yang meminjami ibu uang. Hutang telah bertahun tahun menunggak dan
akhirnya menumpuk. Tak ada lagi yang bisa dijual untuk melunasi hutang.
Bekerja sebagai tukang jahit hanya mampu menghidupi kami sehari-hari.
Dengan begini aku dianggap berbakti?
Baiklah. Rupanya ibuku menyukaiku bekerja seperti ini. Terbukti dengan
senyum yang mengembang setiap aku pulang ke rumah. Juga dengan
pertanyaan dapat uang berapa hari ini? Siapa yang telah membawamu?
Pengusaha asal mana? Di hotel apa? Juga dengan barang-barang yang kini
banyak dibeli olehnya. Tak lagi ia bekerja sebagai tukang jahit. Tak
ada omelan seperti dulu. Tak ada lagi lebam biru di pipiku, dulu ia
seringkali tak segan menamparku juga menjambak rambutku manakala aku
salah sedikit saja. Dan aku??? Jangan pernah tanya perasaanku.
Mungkin hatiku telah membatu. Mungkin aku telah mati rasa. Masuk
akalkah?? Kau tak akan mengerti karena tak berada di posisiku.
***
13 November 2011
Hotel Bintang Lima
Fanny duduk termenung seorang diri. Baru
saja ia selesaikan tugas bersama seorang pelanggan. Pengusaha 50
tahunan yang setia menjadi pelanggannya. Beberapa lembar ratusan ribu
ada di sampingnya. Ibunya pasti akan senang. Ibunya siang ini pasti akan
pergi berbelanja. Pernah ia utarakan niat untuk berhenti, tapi apa yang
dilakukan ibunya? “Bunuh ibu saja nak…!! Kita akan dapat uang dari
mana kalau kamu berhenti?? Bekerja di Jakarta ini susah sekali. Berapa
yang bisa kamu dapat sebulan????”
Pernah juga ibunya mengancam bunuh diri. Kadang
hidup tak bisa ditebak dan diduga. Kadang segala sesuatu jauh sekali
dari nalar kita. Ibu yang seharusnya menyayangi anak dengan sepenuh
hatipun kadang tega membunuh anaknya. Ibu yang seharusnya menjadi
panutanpun, kadang tega menjual darah dagingnya sendiri. Di masa ini
sudah bukan hal yang aneh lagi bukan? Meski amat jarang.
Fanny mengingat kembali kata-kata sang pelanggan yang ia temani malam tadi, “Menikahlah
denganku, jadilah istriku, berhentilah bekerja seperti ini… Kenalkan
aku dengan keluargamu. Aku akan melamarmu. Jika kamu siap segera hubungi
aku.”
“Hidup kadang
tak seperti yang kita duga bukan???Aku benar-benar ingin menyudahi
semuanya. Menikah dan hidup bahagisa bersamanya. Urusan cinta akan
tumbuh belakangan. Bukankah pepatah lama mengatakan, cinta tumbuh karena
terbiasa?”
***
Hari ini menjadi hari yang spesial untuk
Fanny. Ia akan memperkenalkan seseorang yang ingin melamarnya kepada
ibunya. Juga kepada kedua adiknya. Fanny memilih restaurant sebagai
tempat bertemu. Ia dandan secantik mungkin, demikian juga ibunya yang
baru saja membeli baju dan pergi ke salon hanya untuk acara pertemuan
ini.
Berkali - kali ibunya yang matrealistis tersenyum senang. “Kau
akan menjadi istri orang kaya nak… Ibu senang. Kita tak akan hidup
susah lagi. Uang dalam hidup ini memang segalanya nak. Ku memang anak
ibu yamg luar biasa”.
Muak Fanny mendengar kata-kata itu. Pantaskah kau disebut ibu?????
Bunyi SMS mengagetkan Fanny. Dari lelaki pelanggan setia yang ining melamarnya. “Tunggu sebentar. Jalanan macet. 20 menit lagi mungkin sampai.” Begitu bunyi SMSnya. Fanny mahfum, ia hidup di kota metropolitan yang jalananya macet di mana - mana.
Tak sampai 20 menit, dari kejauhan sang
pria menuju mejanya. Fanny tersenyum ke arahnya, senyum yang dipaksa. Ia
tau laki-laki ini tulus. Tapi mungkin laki-laki ini akan kecewa dengan
perilaku ibunya yang matrealistis.
“Halo, maaf terlambat. Jalanan macet luar biasa…” Sang pria menyapa di meja bundar.
“Tak apa. Bu, kenalkan ini pak Sugi, orang yang akan melamar Fanny”
Sang ibu yang sejak tadi duduk dan sibuk
makan menu pembuka yang di sediakan restaurant tak menyadari kedatangan
calon menantunya buru-buru melap mulutnya dengan tissu. Iapun berdiri
menyambut.
Ibu : “Kamu…. Kamu????”
Pak Sugi : “Marni??? Jadi?? Jadi??? Fanny??? Dia anak kita????!!!!
&*%&(&#$@$
***
Untuk yang ke sekian kali aku akan katakan, hidup kadang tak bisa diduga bukan??
Siapakah yang
salah? Bila selama ini pelangganku adalah ayahku sendiri??? Bahkan ia
yang akan memperistriku. Aku bahkan tak pernah melihat muka ayahku.
Lebih tepatnya tak pernah ingat. Dia meninggalkan ibuku pada saat aku
masih kecil. Namanya saja aku tidak tau. Ibuku selalu bilang. Dia
mungkin sudah meninggal. Aku tak perlu tau, selalu dia bilang begitu.
Pada diriku sendiri saja aku malu. Aku merasa jijik. Ibuku bahkan tak tau. Aku terinfeksi HIV akibat pekerjaanku.
23 November 2011
Fanny ditemukan tewas di kamarnya dengan luka sayatan di lengan kirinya.sumber : http://fiksi.kompasiana.com
0 Komentar