Harapan Itu Masih Ada
Mentari bersinar terang.
Langit pun berwarna biru dengan hiasan awan altokumulus yang berwarna putih bersih.
Angin bertiup kencang pertanda musim penghujan akan usai dan akan segera digantikan oleh musim kemarau.
Aku semakin memantapkan langkahku, aku tak tahu kenapa aku dipanggil untuk kali kedua menemui Bu Ida di ruang guru. Aku semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres. Ketika aku akan memasuki ruang itu, aku dikejutkan oleh suatu berita. Mendengar hal itu, aku ingin berteriak sekencang-kencangnya tanda kegirangan, namun beberapa detik kemudian syaraf-syaraf di otakku mengisyaratkan hal yang sebaliknya-seketika itu juga air mataku menetes dari pelupuk mataku.
* * *
Hmm.. aku bangun tergesa-gesa. Lagi-lagi aku lupa menyetel jam wekerku. “Sudah biasa!” pasti itu komentar Mama kalau dia melihatku berlari-lari sambil menyeret handukku ke kamar mandi. “Hah... ajaib bin aneh!” gumamku perlahan-lahan sambil mengucek-ngucek kedua mataku karena kurang yakin weker di mejaku masih menunjukkan pukul 5 pagi.
Kuangkat perlahan kakiku sambil memperhatikan jarumnya masih menunjuk di angka 5. “Wah rekor dunia!” kataku. Perlahan aku menggerakkan kakiku turun dari tempat tidur namun pesona kenyamanan tempat tidurku tak bisa terelakkan sehingga aku kembali meletakkan kepalaku di bantal, menarik selimut dan akhirnya...zzz...tertidur lagi. “Lagian hari ini kan hari libur, jadi apa salahnya aku tidur lagi,” gumamku saat akan tertidur lagi.
“Hoam.. aduh siapa sih ini? Pagi-pagi gini udah sms! Nggak tahu kalau aku lagi menikmati hidup, apa?” aku terbangun oleh suara sms dari handphoneku, saat itu jam menunjukkan pukul 08.00. Segera kulihat, siapa yang merusak mimpi indahku bersama Christian Bautista, penyanyi Filipina yang kukagumi hingga sekarang. “Dicky...!” mataku terbelalak, aku tak percaya dia mengirimiku sms selamat pagi. Aku membaca sms-nya sambil senyum-senyum sumringah yang tidak jelas.
Cahaya mentari,
Embun pagi,
Sejuknya udara pagi, mengawali hari ini tuk ucapkan...
Selamat pagi Aya
“Ah... so sweet! Dicky, bisa aja sih kamu! Aduh-aduh, apa yang harus kulakukan? Hahaha...!” kataku kegirangan sambil meremas-remas Coki, boneka beruang yang selalu menemani tidurku. Dicky adalah seorang cowok yang satu bulan terakhir dekat denganku. Aku sangat menikmati hubunganku dengan dia. Dia adalah anak yang humoris dan romantis. Dia juga yang selalu menemaniku ketika penyakit kebosanan menyerangku.
* * *
Hari ini, saatnya aku kembali ke sekolah. Seperti biasa aku bangun kesiangan. “Aargh.... jam 6 kurang 15 menit! Mama, kenapa Mama nggak bangunkan aku sih? Gini nih jadinya, aku kesiangan lagi!” kataku sambil berlari ke sana ke mari menyiapkan segalanya.
“Yee... kok kamu malah nyalahin Mama, kan Mama udah berkali-kali bangunin kamu, salah kamu sendiri dong. Kenapa juga, kemarin lihat film sampai malam banget. Apa tuh judulnya? Nania? Lho kok kayak nama penyanyi ya?”
“Narnia, Mama!” jawabku membenarkan kesalahan mamaku.
“Ooo... ya sudah. Apalah itu! Pokoknya Nania-Nania!” jawab mamaku kesal.
Akhirnya, semua perdebatan dengan mamaku dan segala persiapan sekolah telah selesai. Dan pukul 7 kurang sepuluh menit aku berangakat menuju sekolah tercinta, SMA Super High School.
Pukul 07.00 tepat, aku tiba di sekolahku. “Wah... untung nggak telat! Kalau telat bisa mati aku!” gumamku lega. Aku segera mengeluarkan jurus seribu bayangan untuk menuju kelasku. Ketika tiba di kelasku, aku melihat semua temanku sedang membuka dan belajar Bahasa Inggris. “Waduh-waduh, perasaan hari ini matahari masih terbit dari timur, tapi kok kalian rajin banget. Ada apa sih? Ah, aku tahu, kalian sudah tobat ya? Hahaha,” kataku menyindir teman-temanku yang notabene malas banget belajar kalau nggak ada ulangan.
“Eh Aya, kamu nggak tahu ya? Kalau hari ini kan ada ulangan Bahasa Inggris, itu tuh yang bab nya Narrative text?” kata Illie, salah satu temanku yang suka banget sama kucing.
“Heh, iya to? Waduh, aku belum belajar nih! Gimana dong?”
“Ah, Aya kamu sih nggak usah belajar aja juga udah bisa. Jadi, tolong nanti kasih contekan ke aku ya!” kata Dina dengan wajah memelasnya.
“Hah, aku ngasih contekan kamu? Aduh, jangan deh! Lha wong aku nggak belajar, mana mungkin bisa nyontekin! Nggak ah!” kataku menolak tawaran Dina.
Di tengah-tengah perbincanganku dengan teman-temanku, guru Bahasa Inggris pun tiba. Mereka adalah Mr. Rudy dan Mr. Tata. Seperti yang kami duga, ulangan pun akan segera dimulai. “Well, now put your book in your bag, and do this test! And remember, do it your self!” kata Mr. Tata memberi instruksi pada kami. Keringat dingin mengucur deras membasahi tubuhku. Aku merasa bodoh sekali, karena aku tidak bisa memahami pertanyaan yang ada. Yang bisa kulakukan hanyalah berserah. Selama 1,5 jam aku dan teman-temanku mengerjakan ulangan Bahasa Inggris itu.
“Fiuh... lega akhirnya! Ulangan udah dilewati. Tapi ngomong-ngomong, siapa sih yang bikin soal? Soal kok sulitnya minta ampun!” kata Diana sambil marah-marah tidak jelas.
“He Eh.. Sapa ya? Kok tega banget, kita disuruh ngerjakan soal kayak gitu!” timpal Illie. “Lho..lho.. Aya, kamu kenapa lemes banget?” tanya Illie.
“Teman-teman kalian lapar nggak? Ke kantin yuk! Cacing-cacing diperutku udah unjuk gelar nih! Yuk.. Yuk!” ajakku pada kedua temanku itu. Kamipun pergi kekantin bersama-sama. Pada waktu itu aku dan Diana memesan soto, sedangkan Illie memesan mie ayam favoritnya. Ketika kami sedang menikmati makan siang kami, tiba-tiba Mr. Tata menghampiri kami, katanya, “Aya, setelah take a lunch tolong kamu menemui Bu Ida di ruang guru. Beliau sudah menunggu kamu.”
“Lho... ada apa Pak?”
“Lha makanya... Kamu nanti ke sana. Toh kamu nanti juga tahu sendiri. Ya sudah. Enjoy your lunch. Saya tak ke kantor dulu.”
Kedua temanku menatapku dengan tatapan yang penuh dengan berjuta pertanyaan. “Diana dan Illie, aku juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tenang saja, tak ada yang kurahasiakan dari kalian. Jadi tolong jangan menatapku seperti itu,” pintaku pada Diana dan Illie. Aku menghabiskan soto yang ada di depanku itu dengan seribu pertanyaan yang aku pun tak tahu jawabannya.
“Ya udah deh Aya, sekarang cepetan gih ke ruang guru. Bu Ida udah nunggu kamu dari tadi lo!” kata Diana.
“He eh... Sana cepetan!” tambah Illie.
“Lho... lha tapi aku kan belum bayar.”
“Udah... nggak papa! Tak bayarin dulu aja. Eits, tapi aku nggak nraktir lo! Ini kuhitung sebagai utang kamu. Hehehe,” kata Illie.
“Kamu ini perhitungan banget sih sama teman. Ya udah lah, aku pergi dulu ya. Doakan aku kembali dengan selamat tanpa kekurangan satu apa pun. Makasih ya Illie dan Diana,” kataku sambil lalu.
“Ok... That’s what friends are for! Break a leg ya...!” kata Diana dan Illie. Dengan langkah kakiku yang cepat, aku pun menuju ruang guru. Aku tak sabar mengetahui ada apa di balik semua ini. Setibanya di ruang guru, aku langsung menghampiri Bu Ida. “Maaf, apakah tadi Bu Ida memanggil saya?” tanyaku.
“Iya, begini Aya. Sebentar lagi akan diadakan Story telling Contest tingkat Kabupaten. Kamu ikut ya! Tapi sebelumnya, akan ada seleksi tingkat sekolah dulu. Jadi tolong kamu mempersiapkannya. Sampai bertemu Sabtu depan. Jangan lupa beri tahu Diana juga ya!” kata Bu Ida.
“Iya Bu Ida... Beres!” jawabku. Oh Tuhan... aku tidak percaya dengan apa yang barusan aku dengar. “Terimakasih Tuhan, sudah memberikan kesempatan ini padaku!” gumamku dalam hati.
Mulai saat itu, hari-hari kulalui tanpa lepas dari teks yang harus kuhafal. Aku juga memberi tahu Dicky soal ini. Dia sangat mendukungku. Bahkan dia juga memberikan kata-kata penyemangatnya untukku. Aku sungguh beruntung memiliki teman seperti dia.
Hmm... akhirnya hari Sabtu datang juga. Hari ini adalah hari yang paling penting bagiku. Semalaman aku tak bisa tidur, karena membayangkan yang akan terjadi hari ini. Aku sudah menyiapkan segalanya. Namun, tak bisa kupungkiri bahwa aku belum hafal benar teks itu. Setelah menunggu lama di lab bahasa, tiba juga giliranku. Dan aku pun mulai bercerita. Pada awalnya sangat lancar. Namun, di akhir cerita, aku mengacaukan segalanya. “Because relationship among friends is like a rainbow. Red it’s like an apple, it taste so sweet. Yellow, ehm.. ehm... ehm... Yellow... ehm... Yellow its like sun, and green... and green... and green... ehm...,” kataku kebingungan. Aku begitu kikuk, hingga aku memotong ceritaku itu langsung ke bagian penutup, “Ok, I think that’s all my story. Apologize me if there are many mistakes. Well, thank you for your attention. See you and goodbye. Good morning!”.
Kemudian aku kembali ke tempat dudukku, aku tahu aku sudah gagal. Kalau kata anak-anak sih gatot alias gagal total. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa membenamkan wajahku jauh ke dalam kursi. “Oh Tuhan... Apa yang telah kulakukan? Ampuni aku Tuhan, aku tidak bisa memberikan yang terbaik. Tuhan aku sekarang tidak sanggup menghadapi Dicky, bagaimana jika ia menjauh dariku karena kegagalanku? Oh Tuhan, jangan sampai itu terjadi!” kataku lirih dan tanpa kusadari aku mulai melamun, membayangkan seandainya waktu dapat diputar kembali.
“Aya, Aya, Aya... Heh, kamu lagi merenung ya? Soal apa? Soal Dicky ya? Eh, ngomong-ngomong, kenapa penampilan kamu tadi begitu kacau?” tanya Diana yang juga berada di lab bahasa untuk mengikuti seleksi itu.
“Oh... nggak! Nggak! Bukan soal Dicky kok! Iya, tadi penampilanku begitu kacau mungkin karena aku belum siap. Diana, kamu harus berjanji padaku, bahwa kamu akan menampilkan yang terbaik. Janji ya?” kataku pada sahabatku itu.
“Kamu ngomong apa sih Aya? Tentu saja aku akan memberikan yang terbaik,” jawab Diana. Semua peserta telah tampil. Semua telah menampilkan yang terbaik. Hanya aku yang tidak melakukan hal itu. Kemudian Bu Ida pun mengumumkan sesuatu,”Ya, semua peserta telah tampil. Hasilnya akan diberitahukan hari Senin. Terimakasih untuk para peserta. Silakan kembali ke kelas masing-masing. Selamat siang!”
Keluar dari ruangan itu, aku langsung mengambil handphoneku. Entah mengapa, yang ada dalam otakku saat itu hanyalah Adit, cowok yang pernah kusukai. Aku pun langsung meng-sms dia.
“Adit, aku gagal. Aku tidak bisa memberikan ya terbaik. Aku lupa teksnya! Aku gagal. Aku bodoh! Hiks.. Hiks =(.“
Tak lama kemudian, handphone ku bergetar. Setelah kulihat dilayar handphoneku, nama Adit muncul di sana. Ternyata dia membalas sms ku.
“Aya, aku tahu kamu sudah berusaha. Sudahlah jangan putus asa! Kamu tidak bodoh! Tenanglah, masih ada harapan. Jangan pernah padamkan harapan kamu ya! Aya, tetap bersemangat! Ingat, Tuhan pasti memberikan pelangi setelah hujan badai. Senyum.... =).”
Lama aku merenungkan sms dari Adit, “Benar juga! Aku tidak boleh memadamkan harapanku. Karena aku masih punya harapan! Terimakasih Adit!” kataku dengan semangat.
Aku melewati hari Sabtu dan Minggu dengan harapan yang menyala-nyala. Dalam waktu 48 jam, hari Senin telah tiba. Sepanjang hari aku menanti pengumuman dari Bu Ida. Namun, sepanjang hari Senin itu, tak kunjung ada berita. Hari Senin telah terlewati, Selasa, Rabu, tetap belum ada berita. Aku semakin yakin, bahwa aku memang tidak lolos seleksi. Hingga pada hari Jumat, Ika temanku dari kelas X-10, menemuiku di kelas.
“Maaf, Aya ada?” tanyanya pada salah seorang temanku di kelas.
“Aya ya? Ehm... Itu dia. Aya, dicari nih!”
“Iya sebentar! Huh, ada apa Ika?” tanyaku pada Ika.
“Aya, kamu dipanggil Bu Ida ke kantor sekarang!”
“Lho ada apa?”
“Nggak tahu! Aku kan cuma melaksanakan tugasku. Beliau ada di ruang guru sekarang,” kata Ika. Mendengar berita dari Ika, aku langsung menuju ke ruang guru.
Mentari bersinar terang.
Langit pun berwarna biru dengan hiasan awan altokumulus yang berwarna putih bersih.
Angin bertiup kencang pertanda musim penghujan akan usai dan akan segera digantikan oleh musim kemarau.
Aku semakin memantapkan langkahku, aku tak tahu kenapa aku dipanggil untuk kali kedua menemui Bu Ida di ruang guru. Aku semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres. Ketika aku akan memasuki ruang itu, aku dikejutkan oleh suatu berita.
“Aya, kamu terpilih untuk mewakili sekolah kita dalam lomba Story Telling Contest tahun ini. Selamat ya!” kata Bu Rina dan Bu Ida. Mendengar hal itu, aku ingin berteriak sekencang-kencangnya tanda kegirangan. Namun beberapa detik kemudian syaraf-syaraf di otakku mengisyaratkan hal yang sebaliknya-seketika itu juga air mataku menetes dari pelupuk mataku.
“Kenapa harus saya? Bukankah, dulu penampilanku begitu kacau? Bu Rina salah mungkin! Mana mungkin saya terpilih?” tanyaku.
“Aya, kami tahu bahwa dulu penampilan kamu belum sebagus yang lainnya. Kamu hanya kurang persiapan.”
“Tidak Bu, jangan memilih saya! Masih banyak yang jauh lebih bagus daripada saya. Ada Diana, Dewi, dan Intan. Mereka semua jauh lebih layak mendapatkan kesempatan ini.”
“Aya, setiap peserta memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebenarnya, kamu itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh peserta lainnya. Jadi tolong, terimalah kesempatan ini! Jika kamu, merasa ini tidak layak, maka kamu harus membuktikkan pada kami dan pada teman-teman kamu, bahwa kamu memang layak mendapat kesempatan ini. Jadi, tolong disiapkan semuanya. Jangan sampai lupa lagi ya. Ya sudah, sekarang kamu boleh kembali ke kelas,” kata Bu Ida menjelaskan.
Aku kembali ke kelas benar-benar seperti orang yang kehilangan nyawanya. Aku linglung. Aku mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan ini semua ke Diana.
“Diana, aku bingung harus memulai dari mana. Begini, tadi Bu Ida memanggilku. Beliau berkata bahwa aku...’”
“Bahwa kamu terpilih untuk mengikuti contest itu kan? Aya, aku tahu itu. Dan kamu memang layak mendapatkannya, karena kamu selalu memiliki harapan dalam hati kamu,” kata Diana memotong pembicaraanku.
“Diana, sebenarnya aku tidak layak mendapatkan kesempatan ini. Aku tadi sudah menjelaskan semuanya ke Bu Ida. Namun Bu Ida, tetap saja memilihku yang tidak layak ini.”
“Sudahlah Aya, aku bisa menerima semua ini kok. Toh tahun depan kan masih ada lagi. Jadi, aku ikut yang tahun depan aja deh! Sekarang tugas kamu adalah memberikan yang terbaik untuk sekolah ini. Oke? Janji iya?”
“Iya Diana! Terimakasih untuk semuanya!” kataku sambil memeluk sahabatku itu.
Akhirnya, aku menerima tawaran Bu Ida. Kemudian entah mengapa sms dari Adit tiba-tiba memenuhi seluruh isi otakku. Aya, jangan pernah memadamkan harapan kamu!
“ Iya benar... Ini semua adalah karena harapan itu. Terimakasih Adit dan terimakasih Tuhan. Aku berjanji, aku akan memberikan yang terbaik kali ini. Aku akan berusaha untuk membuktikan bahwa aku layak menerima kesempatan ini. Ya... harapan memang harus menyala tetap dalam hati kita,” gumamku dalam hati.
Nama : Theodora Dyah P (31)
Kelas : X-C
0 Komentar